SKANDAL (Di Balik Tembok Kerajaan) Part 1
Part 1: Roro Naeswari
Kabut turun perlahan dari puncak Mahameru yang berdiri kokoh nun jauh di sana. Remang senja mulai membayang membatasi pandangan.
Roro Naeswari berdiri di samping jendela salah satu kamar rumah megah bergaya Jawa klasik. Mengintip keluar, memandang dua anak kecil yang berlarian di taman samping.
Telapak tangannya meremas dada, yang tertutup kebaya brokat biru tua. Ada yang teriris di sana. Jiwa keibuan yang meronta dan menahan sesaknya rasa sejak kelahiran putra pertamanya. Ia hanya bertugas untuk mengandung dan melahirkan. Tanpa punya hak untuk memeluk bahkan tidak juga diizinkan menyusui. Apalagi untuk mendidik.
"Den Raka, Den Rama ayo masuk rumah. Kanjeng Ibu sudah memanggil. Sebentar lagi malam ini."
Seorang pengasuh memanggil kedua bocah umur delapan tahun dan enam tahun yang asyik berkejaran di antara bunga-bunga taman.
"Nanti, Mbok," bantah seorang anak yang lebih besar. Raden Raka.
"Monggo¹, Den. Nanti Kanjeng Ibu duko², lho."
Kanjeng Ibu. Tentu ibu yang dimaksud bukan dirinya. Tapi istri pertama suaminya. Sedangkan ia hanya istri kedua yang diwajibkan melahirkan keturunan Adipati Rangga Wijaya. Sebab Raden Ayu Selasih dinyatakan gabuk³, atau mandul.
Dua bocah lelaki itu akhirnya manut. Berjalan di depan Mbok Lami, kepala abdi perempuan di Kerajaan Sedati.
Pandangan Roro Naeswari beralih pada sosok tegap yang berdiri di samping bangunan, tempat para abdi dalem tinggal. Memakai rompi kain yang terbuka bagian dada. Rambut lurusnya tergerai sebahu. Dalam remang senja, ia melihat sorot mata penuh rasa yang terpendam diam-diam.
Wanita dua puluh enam tahun itu beringsut ke dalam. Bersembunyi di balik dinding. Hatinya tidak sanggup menatap lama pada pria yang berdiri di sana.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang abdi perempuan masuk, mengangguk sebentar. Roro Naeswari duduk di tepi pembaringan.
"Den Roro, ini saya bawakan jarit⁴ baru. Kanjeng Adipati ingin Den Roro memakainya malam ini. Beliau mau berkunjung."
"Iya, Mbok. Letakkan di situ. Nanti saja aku memakainya."
Mbok Wiwit yang biasa meladeni dan menyiapkan segala keperluannya itu mendekat. Memegang tangan junjungannya setelah meletakkan kain di atas ranjang.
"Den Roro makan malam dulu. Biar simbok ambilkan ya?"
"Ini masih sore, Mbok. Aku belum lapar."
"Biar simbok siapkan saja di meja. Nanti jika sewaktu-waktu Raja datang, simbok sungkan ngetuk pintu."
Roro Naeswari memberi isyarat dengan tangannya agar Mbok Wiwit lebih mendekat. Dan wanita setengah baya itu nurut.
"Buatkan aku ramuan biar aku nggak hamil. Aku sudah nggak mau mengandung lagi. Ngenes hidupku, Mbok. Tiap punya anak aku nggak punya hak untuk merawatnya."
Mbok Wiwit mengangguk. Dan segera berlalu, sebelum percakapan mereka didengar abdi lain.
Sampai di dapur Mbok Wiwit segera mencari bahan untuk membuat ramuan yang diinginkan Roro Naeswari. Karena ingin cepat, akhirnya ia mengambil serbuk kunyit dari bokor yang ada di lemari dapur. Tidak sempat jika harus membuat ramuan lainnya. Mbok Wiwit segera menyeduh tiga sendok serbuk kunyit ke dalam gelas yang berisi air.
Di atas nampan kayu, wanita itu menyiapkan menu makan malam untuk Roro Naeswari. Dan meletakkan gelas kunyit yang sudah ditutup rapat, di samping bakul nasi. Dengan langkah tergesa ia segera masuk kamar Roro Naeswari.
"Den Roro, ini nanti usahakan segera diminum setelah ...." Mbok Wiwit sungkan untuk mengucapkan. Wanita itu menunduk.
"Minumnya jangan sambil duduk. Tapi sambil berdiri."
Roro Naeswari mengangguk. Ia ingin bertanya kenapa tidak boleh minum sambil duduk. Tapi Mbok Wiwit keburu keluar kamar, setelah menaruh gelas di samping lemari baju. Disembunyikan biar tidak terlihat Raja.
Semilir angin malam, berhembus masuk lewat jendela yang masih terbuka. Roro Naeswari hanya makan sedikit, entah kenapa tiba-tiba hilang selera makannya.
Baju kebaya sudah diganti dengan jarit bercorak parang kusumo yang baru dan berbau wangi. Dadanya terlihat montok menggoda dengan kulit putih bersih. Rambutnya terurai sepanjang pinggang. Pesona perempuan usia subur.
Perlahan ia menutup jendela, ketika didengarnya langkah kaki di luar kamar. Ia hafal betul, itu suara sandal dan langkah suaminya.
Pintu kamar terbuka, masuk pria tampan berusia tiga puluh lima tahun. Wajah itu bak pinang dibelah dua dengan pria yang memperhatikan di luar sana sore tadi. Hanya usia yang membedakannya.
Roro Naeswari mengangguk takzim. Raja mendekat. Memegang bahunya, lalu mencium kening. Lantas membawa Roro duduk di tepi pembaringan.
Raja Wijaya mengangkat dagu Roro Naeswari. Mata mereka bertemu. Ada sorot kerinduan di netra sang Wijaya. Tapi tidak di mata istrinya. Entah apa yang ada di benak wanita itu. Mungkin ia kecewa, merasa tidak berharga atau mungkin tidak ada cinta.
Selama ini ia didatangi hanya untuk bersenggama. Untuk memuaskan nafsu dan untuk mendapatkan keturunan.
Sebuah kecupan hangat mendarat di bibir ranum Roro Naeswari, hembusan napas sang Adipati terasa hangat di wajah istrinya.
"Raden Rama sudah berumur enam tahun. Sudah waktunya punya adik."
Roro Naeswari hanya tersenyum. Karena untuk mengatakan penolakan, rasanya hanya sia-sia. Dari awal dinikahi, dia memang hanya untuk melahirkan keturunan trah Wijaya.
Entah kenapa Raja tidak mencari istri lagi. Bukankah wajar seorang bangsawan berdarah biru seperti dia, menikahi banyak wanita.
"Lahirkan seorang putri untukku."
"Bagaimana kalau lahir seorang putra lagi. Apakah saya harus melahirkan lagi dan lagi."
Raja Rangga Wijaya menatap tajam istrinya.
"Saya bersedia mengandung lagi, tapi dengan satu syarat."
"Syarat apa?"
"Anak ketiga ini, izinkan saya merawat dan mendidiknya sendiri."
Raja Wijaya memandang lagi, tanpa menjawab.
"Saya ingin menjadi ibu yang merawat anaknya."
"Apakah menurut Sang Raja, saya tidak mampu melakukan itu?"
Sang Wijaya menjawab sambil memandang dada Roro Naeswari, jemari besarnya mulai menarik ujung kain yang disematkan di dada sang wanita. Membuat kain itu turun ke bawah, memperlihatkan ranumnya dada yang penuh pesona. Membuat Sang Raja menahan napasnya.
"Baik. Aku akan kabulkan syarat itu."
"Saya akan ingat janji ini, Kanjeng Raja." Roro Naeswari berkata sambil mendongak, memandang wajah tampan berahang kokoh di hadapannya.
Adipati Wijaya mengangguk. Lengan kekarnya meraih sang istri dalam dekapannya. Sejenak kemudian wanita itu telah rebah, siap menjalani kewajibannya sebagai seorang istri.
Bersambung ...
Note :
¹Monggo = ayo, mari
²duko = marah
³gabuk = mandul
⁴jarit = kain panjang
No comments: