SKANDAL (Di Balik Tembok Kerajaan) Part 2
Part 2: Cinta Terlarang
Malam kian larut. Ini puncak musim kemarau. Udara kian terasa dingin menusuk hingga ke tulang. Roro Naeswari bangun dari pembaringan, saat dilihat suaminya sudah terlelap setelah pergumulan yang cukup panjang.
Ia melangkah perlahan menuju gelas dari tembikar yang ada di samping kaki lemari. Meminum ramuan yang disediakan abdinya. Wanita itu masih belum yakin dengan janji Sang Raja. Nanti setelah lahir anak ketiganya, bisa jadi beliau ingkar janji.
Roro Naeswari kembali ke pembaringan. Menatap wajah yang terlelap tenang. Apa kurangnya dia. Tampan dan berwibawa. Perempuan mana yang tidak memiliki impian dipersunting bangsawan. Tapi soal rasa memang tidak bisa dipaksa.
"Nduk, sing manut yo.¹ Kamu cuma putri seorang Demang. Adalah anugerah dipersunting Raja. Walaupun jadi istri kedua," kata ibunya waktu menjelang hari pernikahannya.
"Njih, Bu."²
"Ladeni yang baik. Kelak kamu akan melahirkan putra-putri penerus trah Wijaya."
Roro Naeswari hanya bisa nurut dan manut. Tidak berani menolak, dan andai menolak pun tidak akan didengarkan. Pasti akan ada pemaksaan. Orang tua mana yang tidak ingin jadi mertua seorang Raja.
Walaupun hatinya hancur lebur. Ia harus memupuskan impian untuk bersanding dengan pria pujaan. Dan yang lebih menyedihkan, pria idaman itu sekarang menjadi adik iparnya.
Sebulan setelah menikah, ia dinyatakan mengandung. Malam pertamanya dalam keadaan subur. Kala itu usianya baru menginjak tujuh belas tahun. Dan Sang Raja berusia dua puluh tujuh tahun. Beliau menjadi Raja setelah ayahnya wafat karena sakit. Dia menjadi Raja termuda di usia dua puluh tahun.
Kehancuran bukan hanya dirasakan dalam benaknya, tapi terlihat di setiap tatapan pria yang sering memperhatikan dari kejauhan. Dia, Raden Lingga Wijaya.
Roro Naeswari menunduk, merasakan sesak di dada saat mengingat perjalanan cintanya.
"Kenapa tidak tidur?" Suara Raja Wijaya yang terjaga mengagetkannya. Lengan pria bangsawan itu menggamit pinggang langsing sang Roro.
"Maaf, saya terjaga."
Raja Wijaya bangun dari rebahnya. Menatap wajah sang istri dalam remang cahaya dimar³ yang terletak di setiap sudut kamar.
"Apa yang kamu minum?" tanya Adipati Wijaya saat mencium aroma kunyit dari mulut Roro Naeswari. Ketika sang pria bangsawan itu hendak mencium bibir istrinya.
Roro Naeswari menutup mulutnya, kemudian berdiri menuju meja di pojok ruangan. Meminum air putih sebanyak-banyaknya dari sebuah kendi.
Detak jantung sang Roro berdenyut tidak seperti biasanya. Ia cemas. Cemas bagaimana kalau ketahuan. Setelah mendapat ide agar tidak dicurigai, dengan cepat ia kembali ke ranjang.
Dengan satu tarikan dari jemarinya yang terselip di lipatan kain, jarik itu luruh perlahan, hingga batas pinggang.
Sang Raja yang bertelanjang dada itu berdiri, mendekat dan merengkuh kembali Roro Naeswari.
Hening menyelimuti sebuah bangsal Ksatrian. Di mana Raden Lingga tinggal. Matanya yang setajam Rajawali memandang angkasa lepas. Angkasa kelam tanpa sinar rembulan. Hanya bunyi serangga malam, yang mendominasi menjadi musik malam.
Hatinya sudah remuk berkali-kali setiap melihat bayangan pria di kamar wanita pujaan hatinya.Tadi sore sebelum jendela kamar sana ditutup. Ia melihat sosok Kangmasnya berdiri tegak di ruangan itu. Apa yang salah dengan itu? Mereka adalah suami istri. Yang salah adalah hatinya. Sudah tahu retak tapi tetap dibiarkan hingga lebur. Harusnya ia bisa mengendalikan diri. Roro Naeswari adalah kakak iparnya sekarang.
"Den, sudah malem. Kok ndak tidur to?"
Suara Ki Sapto membuyarkan hening yang sejenak dinikmati Raden Lingga.
"Aku tidak bisa tidur, paman," jawabnya pada abdi kinasih umur enam puluh tahun itu.
"Lupakan itu, Raden."
Tampaknya Ki Sapto memang benar-benar paham apa yang menjadi kegelisahan hati junjungannya.
"Tidak semudah itu."
Ki Sapto menghela nafas dalam-dalam. Hubungan yang rumit. Baik Sang Raja maupun Raden Lingga adalah sama-sama momongannya dari mereka masih anak-anak. Ia yang dipercaya mengasuh dua putra bangsawan itu.
"Roro sudah melahirkan keponakan-keponakanmu, Raden."
"Dia milik Sang Raja. Raden bisa mendapatkan sepuluh putri di luar sana."
"Aku tidak peduli, Paman. Di hatiku hanya ada wanita itu."
Ki Sapto menunduk. Kedua hati kakak adik itu sama-sama keras kepala. Mereka nampak baik di hadapan pasowanan, atau di depan Kanjeng Ibu mereka. Tapi dalam benak, ada persaingan panas, bukan soal kekuasaan, tetapi soal asmara.
Pria mana yang tidak tergoda dengan kecantikan Roro Naeswari. Ia bak bidadari yang menjelma di bumi.
Bahkan Sang Raja sudah merasa cukup memilikinya. Tidak ingin mencari selir lagi. Memang, ia telah menikah lebih dulu dengan Raden Ayu Selasih. Tapi pernikahan mereka disebabkan penyatuan kekuasaan. Bukan berdasarkan cinta. Walaupun mati-matian Raden Ayu Selasih mencintai suaminya, tapi Sang Raja hanya menyayanginya karena Raden Ayu Selasih adalah istri yang bakti pada suami dan keluarganya. Walaupun ia tidak bisa memberikan keturunan pada sang Wijaya.
"Aku ingin memilikinya, Paman. Aku tidak peduli sekalipun ia telah melahirkan sepuluh anaknya Kangmas Raja Rangga."
"Jangan, Den, jangan. Kendalikan dirimu. Kasihan Ibu Sepuh. Biarlah beliau tenang di masa tuanya."
Kekhawatiran benar-benar dirasakan Ki Sapto. Ia tidak ingin ada perselisihan hanya karena asmara di Kerajaan Sedati. Sebagai pengasuh dari dua putra itu, ia paham betul sifat keduanya. Sang Raja dengan kuasa dan keteguhan hatinya, sedangkan Raden Lingga dengan sikap keras kepala dan tekadnya.
"Aku lelah dengan rasa ini, Paman. Lelah ..., andaikan dulu aku tidak bersumpah di depan Kanjeng Romo untuk terus mendampingi Kangmas Rangga, aku sudah pergi dari sini. Membawa perempuan itu."
Raden Lingga mundur ke belakang. Menghempaskan tubuh di dipan. Terlentang menatap langit kamar.
Pikirannya mengembara pada kisah dua belas tahun yang lalu. Saat ia mengenal Roro Naeswari. Waktu itu ia pulang berburu, lantas singgah di sebuah Pademangan di pesisir selatan wilayah Kerajaan Sedati.
Roro Naeswari berumur lima belas tahun kala itu. Sedangkan ia berumur sembilan belas tahun. Mereka sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Maaf, saya takut menerima cinta pria berdarah biru seperti Anda, Raden." Tolak Roro Naeswari waktu itu.
"Aku akan melepaskan gelarku jika kamu merasa terbebani."
Roro Naeswari tersenyum. Ia tahu. Mana mungkin gelar yang sudah tersemat sejak ia lahir akan terlepas begitu saja. Orang akan tetap mengenalnya sebagai putra Sang Raja.
Akhirnya dengan kegigihan usaha. Roro Naeswari yang sebenarnya juga jatuh cinta padanya menerima. Keduanya sering bertemu secara diam-diam di padang rumput, tempat sang Raden berburu.
Hingga desakan sang Kanjeng Ibu agar Kangmasnya segera memiliki keturunan dengan cara menikah lagi, telah menghancurkan asmaranya.
Wanita yang dipilih ternyata adalah kekasihnya. Sungguh kejam.
"Kenapa harus anak seorang Demang, Kangmas. Masih banyak putri dari kadipaten atau kerajaan lain yang siap Kangmas persunting." Raden Lingga mencoba mempengaruhi waktu itu.
"Tidak, Dimas Lingga. Aku sudah mengirimkan utusan untuk melamar Roro Naeswari."
Ucapan seorang penguasa adalah Sabda Pandhita Ratu yang tidak bisa ditolak. Harus dipatuhi dan tidak bisa ditarik kembali.
Hati Raden Lingga lebur seketika itu.
Di malam pernikahan Raja Wijaya, Raden Lingga membakar jerami pakan ternak yang terletak di ujung dekat benteng.
Tapi siapa yang repot? Para prajurit dan abdi dalem yang sibuk memadamkan api. Peristiwa seperti itu bukan masalah besar buat seorang pembesar seperti Raja Wijaya. Jadi tidak perlu dia turun tangan sendiri. Malam pertama pengantin baru tetap dijalani.
Beberapa malam setelahnya Raden Lingga selalu mabuk, meracau tidak karuan. Setiap itu terjadi, Ki Sapto membopong tubuh gagah itu dengan raganya yang ringkih, menjauh dari dalem kerajaan. Semua itu dilakukan hanya untuk menyelamatkan keadaan.
"Den," panggilan Ki Sapto membuyarkan lamunan Raden Lingga.
Pria itu menoleh pada sang abdi kinasih.
"Besok kita berburu lagi, sudah lama kita tidak berkelana."
"Aku lelah, Paman."
"Makanya saya ajak Raden keluar."
Raden Lingga diam.
Ki Sapto ikut termenung. Sejak awal timbul persengketaan rasa itu, ia sudah ketar-ketir. Takut dua junjungan yang dijaga sejak kecil akan saling membunuh. Tapi tidak sampai begitu. Mereka menjadi dua pria dewasa yang hanya memendam kekecewaan. Mungkin karena Raja Wijaya juga tidak paham betul hubungan adik dan istrinya di masa lalu.
***
Bersambung ...
Note :
¹Nduk, sing manut yo = Nak, yang nurut ya
²Njih, Bu = Ya, Bu
³Dimar = lentera kecil
No comments: